Faizal Chan.
2 min readFeb 19, 2022

--

nice one, tapi mungkin ada sedikit yang mau kudiskusikan juga nih...

mungkin ga semua riset bisa kita lakukan seperti ini ya, misal ku pernah (sering malah 😂) meneliti untuk mendapatkan insight tertentu, tapi butuh penggalian data secara mendalam juga yang akhirnya ku ga bisa bilang secara terperinci terkait apa aja yang sedang kita lakukan di sini. salah satu goal utama yang mau dicapai di sini adalah ya kita sebagai penelitilah yang memang bertugas untuk memahami betul para partisipan kita, yang menjadi representatif dari kelompok sosial yang sedang kita kaji.

apakah mereka harus berempati dengan kita? kayanya untuk kasus ini engga ya, karena dikhawatirkan interupsi peneliti secara langsung (yang terlalu banyak) akan menyebabkan pengumpulan data menjadi bias. justru sebaliknya, kita yang harus berempati dengan mereka, khususnya terhadap apa yang mereka alami secara langsung (misal terhadap penggunaan produk, jikalau kita tengah mengkaji itu), baik itu terkait pain points, needs and wants, atau yang lainnya.

but well, secara empiris ya memang dalam praktiknya seringkali ku malah dapet respon yang ga disangka-sangka, bahkan pernah sampai yang negatif 😂. tapi ya memang sih meneliti itu kan memang dilandasi atas apa yang ingin dicapai ya. kalau yang sering kulakukan, risetnya sering dalam konteks eksploratif, bukan sekadar validasi dari apa yang udah ada.

kalau terkait masalah di mana responden yang kurang komprehensif dalam memberikan tanggapan, atau justru terlalu mendetail bahkan sampai memberikan data yang kita (mungkin) tidak perlukan? ya menurutku itu udah jadi bagian dari rutinitas kita sebagai researcher sih, ga dalam konteks UX research aja. justru, yang seperti ini yang bikin riset sosial itu asik bukan? karena sangat mungkin kita belajar sesuatu yang baru setiap harinya... 👍

--

--

Faizal Chan.
Faizal Chan.

Written by Faizal Chan.

Actually a UX researcher, but often work as UX engineer. Jack of all trades, Master of Management.

Responses (1)